Wamendagri – Organisasi kemasyarakatan (ormas) merupakan bagian penting dari dinamika sosial dan politik di Indonesia. Namun, keberadaannya tak lepas dari tantangan, terutama jika aktivitasnya mulai bertentangan dengan hukum dan ketertiban. Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) John Wempi Wetipo menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk membina ormas, tetapi juga ada batas di mana hukum harus ditegakkan tanpa kompromi.

Pembinaan Ormas: Pilar Demokrasi dan Sosial
Ormas memiliki peran krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Mereka menjadi wadah bagi warga negara untuk menyalurkan aspirasi, memperjuangkan hak, serta terlibat aktif dalam pembangunan.
Fungsi Ormas dalam Masyarakat
Secara umum, ormas berfungsi sebagai agen perubahan yang memperkuat partisipasi publik dalam proses demokratis. Melalui berbagai kegiatan sosial, edukasi, dan advokasi, ormas mendorong kesadaran warga terhadap isu-isu penting seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan kebijakan publik.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memiliki tanggung jawab untuk membina dan mengawasi ormas. Pembinaan ini mencakup pemberian informasi, pelatihan, hingga pendampingan hukum, agar ormas dapat menjalankan kegiatannya secara tertib, teratur, dan tidak menyimpang dari norma hukum yang berlaku.
Regulasi yang Mengatur Ormas
Pembinaan terhadap ormas diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kemudian diperkuat dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Undang-undang ini menegaskan bahwa ormas wajib tunduk pada ideologi Pancasila, tidak boleh melakukan tindakan kekerasan, menyebarkan kebencian, atau merongrong kewibawaan negara.
Kemendagri, sebagai lembaga yang mengurusi administrasi ormas, memiliki kewenangan untuk memberikan teguran, pembinaan, hingga pembekuan terhadap ormas yang dianggap melanggar ketentuan.
Pernyataan Tegas dari Wamendagri
Dalam sebuah konferensi pers baru-baru ini, Wamendagri John Wempi Wetipo menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua fase dalam menyikapi perilaku ormas: masa pembinaan dan masa penegakan hukum.

“Ada Masa Membina, Ada Waktunya Hukum yang Bicara”
Pernyataan tersebut mencerminkan pendekatan dua tahap yang digunakan pemerintah. Di satu sisi, negara bertindak sebagai fasilitator yang memberikan ruang dialog dan pembinaan bagi ormas. Namun, jika ormas tetap membandel, melakukan pelanggaran hukum, atau mengancam stabilitas nasional, maka negara harus bertindak tegas.
“Kita tidak ingin langsung menindak. Tapi kalau sudah dibina dan diberi peringatan, masih tetap melanggar, maka hukum harus ditegakkan,” ujar Wamendagri.
Pendekatan ini dianggap penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berorganisasi dan ketertiban umum. Indonesia sebagai negara hukum tidak dapat membiarkan organisasi apa pun melanggar aturan atas nama kebebasan.
Contoh Kasus: Ormas yang Berujung Dibubarkan
Beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan pembubaran sejumlah ormas karena dinilai melanggar ketentuan hukum. Salah satu contoh paling mencolok adalah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Pemerintah menilai aktivitas mereka bertentangan dengan ideologi negara dan mengancam ketertiban umum.
Langkah tegas ini menuai pro dan kontra. Namun, pemerintah menegaskan bahwa tindakan tersebut sudah melalui mekanisme hukum yang sah dan merupakan bentuk perlindungan terhadap konstitusi.
Tantangan dalam Pembinaan Ormas
Meskipun sudah ada regulasi yang jelas, pembinaan ormas tetap memiliki sejumlah tantangan yang tidak mudah diatasi.
Minimnya Kapasitas SDM dan Pengawasan
Salah satu kendala terbesar adalah keterbatasan sumber daya manusia di tingkat daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan secara intensif terhadap ribuan ormas yang ada. Banyak ormas kecil di daerah yang tidak memiliki izin resmi atau tidak terdaftar, namun tetap aktif menjalankan kegiatan.
Kondisi ini menyebabkan kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan. Pemerintah daerah sering kali kesulitan melakukan intervensi karena keterbatasan data, anggaran, dan personel.

Ormas sebagai Alat Politik
Tidak bisa dipungkiri, beberapa ormas memiliki kedekatan dengan kekuatan politik tertentu. Ini membuat pembinaan menjadi sensitif dan rentan terhadap konflik kepentingan. Ketika ormas digunakan sebagai kendaraan politik, maka netralitasnya menjadi kabur dan tujuannya melenceng dari semangat pengabdian masyarakat.
Pemerintah harus mampu memisahkan antara kebebasan berorganisasi dengan upaya manipulatif yang dilakukan oleh oknum tertentu. Penegakan hukum harus dilakukan secara adil, tanpa diskriminasi, dan tidak tebang pilih.
Hukum sebagai Jalan Terakhir
Penegakan hukum terhadap ormas yang melanggar bukanlah langkah pertama, melainkan jalan terakhir setelah seluruh proses pembinaan dilakukan.
Mekanisme Penegakan Hukum
Jika suatu ormas terbukti melakukan pelanggaran berat, seperti menyebarkan ideologi anti-Pancasila, kekerasan, atau kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), maka langkah-langkah berikut dapat diambil:
- Teguran tertulis oleh pemerintah pusat atau daerah.
- Penghentian sementara kegiatan, jika pelanggaran terus terjadi.
- Pencabutan status badan hukum, jika ormas terdaftar sebagai badan hukum.
- Pembubaran dan pelarangan aktivitas, melalui keputusan pemerintah berdasarkan ketentuan hukum.
Semua proses ini harus melalui dokumentasi yang kuat dan bukti yang sahih agar tindakan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Dampak Sosial dari Penindakan
Penindakan terhadap ormas yang melanggar hukum bisa berdampak pada polarisasi sosial. Oleh karena itu, pendekatan komunikatif dan transparan sangat penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa tindakan tersebut dilakukan demi menjaga ketertiban, bukan untuk membungkam aspirasi.
Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan antara Kebebasan dan Keadilan
Pernyataan Wamendagri tentang perlunya membina ormas terlebih dahulu sebelum menindak secara hukum mencerminkan sikap bijak dalam merawat demokrasi. Namun, ketika pembinaan tidak membuahkan hasil, maka negara harus menunjukkan ketegasan dengan menegakkan hukum.
Keseimbangan antara kebebasan berorganisasi dan supremasi hukum harus dijaga agar tidak ada pihak yang merasa terdzalimi atau diistimewakan. Ormas sebagai entitas sosial harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan, hukum, dan etika dalam setiap aktivitasnya.
Dengan demikian, peran pemerintah bukan semata-mata sebagai pengawas, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam memperkuat kehidupan demokrasi yang sehat, adil, dan tertib.